Nabi Muhammad SAW pertama kali menikah pada umur 25 tahun dengan Khadijah yang saat itu usianya 40 tahun. Pasangan tersebut dikaruniai 6 orang anak, 4 perempuan dan 2 laki-laki. Nabi menempatkan Khadijah sebagai mitra. Dengan Khadijah-lah Nabi banyak berbagi persoalan, termasuk juga dalam dakwah.
Nabi menjalani masa perkawinan monogami selama 28 tahun, 11 tahun pada masa kerasulannya. Itulah mengapa Nabi sangat sedih ketika Khadijah meninggal. Dua tahun kemudian, Nabi menikah dengan Saudah Bint Zam’ah. Saat Saudah diriwayatkan sudah memasuki masa menopouse. Nabi juga menikah dengan Aisyah. Mulailah Nabi berpoligami pada usianya ke-54. Nabi melakukan poligami dengan 11 istri setelah anak-anak perempuan Nabi dan Khadijah menikah.
Perempuan-perempuan yang dinikahi Nabi rata-rata adalah perempuan yang berumur, mempunyai anak, dan mereka adalah janda-janda dari sahabat Nabi yang gugur karena membela Islam. Secara fisik hanya Aisyah yang masih perawan saat dinikahi Nabi. Dari kesebelas istrinya itu, Nabi tidak mempunyai anak.
Bagaimana dengan kondisi pada masyarakat yang berpoligami sekarang? Ada banyak yang berpoligami. Itulah salah satu alasan Puspo Wardoyo mengadakan Poligami Award. Ada banyak alasan mengapa orang berpoligami. Alasan yang sering digunakan salah satunya adalah jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Padahal dalam hitungan statistik menyatakan bahwa jumlah perempuan yang berlebih adalah dibawah 12 tahun dan diatas 60 tahun karena harapan hidup perempuan yang lebih tinggi.
Alasan lain adalah karena istri tidak bisa memberi keturunan. Alasan tersebut tentu aja tidak fair untuk perempuan, karena lagi-lagi perempuanlah yang dijadikan objek. Alasan ketiga adalah menghindari zina. Padahal ketika menggunakan alasan ini, sama saja laki-laki tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan mereka berpoligami karena seks. NABI TIDAK MELAKUKAN POLIGAMI ATAS ALASAN INI.
Kemudian, mengapa pula perempuan mau dipoligami? Pertama, karena perempuan tidak punya pilihan lain selain menikah, karena menikah adalah salah satu wujud pengabdian kepada orang tua. Kedua, perempuan sudah terlanjur cinta. Yang ketiga, meningkatkan status sosial dan status ekonomi. Hal itu diperburuk dengan stigma bahwa perempuan akan dianggap sebagai “perempuan baik-baik”, normal dan pengertian sejenisnya ketika dia menikah.
Lalu, apa implikasi (negatif) dari tindakan poligami tersebut? Banyak. Ada kekerasan psikologis, ekonomi hingga kekerasan seksual. Secara psikologis, perempuan mana yang tidak cemburu ketika suaminya bersama dengan perempuan lain. Seharusnya hal tersebut bisa dijawab secara jujur dengan hati nurani. Permusuuhan antar istri juga seringkali tidak bisa dihindari. Begitu juga hubungan antara keluarga istri satu dengan keluarga istri yang lain. Ketidakharmonisan sangat mudah terjadi. Kekerasan ekonomi bisa terjadi ketika tidak ada pembagian yang adil dalam segi materi.
Penelitian dari Mudhofar Badri menyatakan bahwa anak mempunyai beban psikologis yang berat ketika mereka diolok-olok bahwa ayahnya adalah “tukang kawin”. Untuk anak perempuan, beban itu juga menjadikan mereka lebih sulit untuk bergaul dengan teman laki-laki mereka. Perhatin yang kurang juga bisa menimbulkan anak salah pergaulan.
Menikah adalah sebuah pilihan. Begitu juga dengan poligami. Jadi, silahkan berpoligami, TAPI JANGAN MENGATASNAMAKAN AGAMA. Karena, perilaku yang katanya meniru Nabi, ternyata pada prakteknya jauh dari apa yang diajarkan Nabi. Tidak semua orang bisa berlaku adil, itulah mengapa Nabi keberatan ketika putrinya akan dijadikan istri yang kesekian kalinya oleh Ali Bin abu Thalib.
Bagaimanapun, pernikahan adalah sebuah tahap untuk mencapai ketentraman, bukan perselisihan. Ada lima prinsip yang harus dipegang dalam melakukan sebuah pernikahan yaitu kebebasan memilih jodoh, cinta dan kasih sayang, prinsip saling melengkapi dan melindungi serta memperlakukan istri dengan sopan.
Diambil dan disadur dari Jurnal Perempuan #38
Buku “Islam Menggugat Poligami”: Siti Musdah Mulia